Beberapa jam yang lalu, disini terik, panas dan terasa menguap. Tapi baru saja, awan-awan nimbus menetap tepat diatas langit yang dilihat Bisma, angin besar pertanda hujan sudah berhembus sesekali. Bisma menutup gerbang berwarna coklat tua di depannya, menatap dengan penuh kehati-hatian, entah mengapa Bisma merasa ini keputusan yang tepat dan tidak membuang-buang waktu, apalagi jika dia bisa melakukan ini, ada dua orang yang dia bahagiakan, seorang ibu dan anaknya yang manja. Batinnya merasa bersalah, tapi dia tau ada satu sisi yang sangat bermakna dibalik ini semua.
‘Semoga hujan tidak datang lebih cepat.’ Bisma menjalankan motornya, segera pergi dari sana, sebelum si anak menyadari keberadaannya. Dia pasti bisa sulit bicara, sulit menjelaskan perkara apa yang sedang melibatkannya disini.
Dan secepat kilat Bisma sudah di supermarket, membeli empat bungkus mie goreng, sebuah senter, beberapa obat-obatan pertolongan pertama,dua kotak makanan, dua cangkir plastik, biskuit, roti, susu, softdrink, korek api, syal, sarung tangan, vitamin C, K, B kompleks dan D, penambah darah, minuman isotonik, ponco, tali tambang, air mineral 1,5 L dan beberapa jenis permen serta coklat. Setelahnya, hanya dalam waktu lima belas menit dia sudah berada di depan gerbang sekolah, mencari-cari Radith, sahabat karibnya sejak masih kecil.
“Dith!!” Sahut Bisma ketika melihat Radith keluar dari pintu Ruangan OSIS.
“Hei Bis, tumben banget lu nyamperin gue. Si Mr.Sibuk, ada apaan nih?” Kata Radith menyadari sahabatnya yang jarang ada di sekolah ini memanggilnya.
“Ada hal penting yang bener-bener menyangkut keputusan lu nih.”
“Apaan??” Radith terlihat tertarik mendengarkan cerita Bisma.
Bisma menggendong ransel besar milik Radith yang dipinjamnya kemarin. Berat. Tentu saja berat, selain semua peralatan wajib yang harus dibawa secara personal, Bisma juga harus membawa banyak sekali spek tambahan, yang dia pikir sangat diperlukan dalam keadaan darurat. Kemungkinan apapun bisa terjadi disana.
Gerbang sekolah sudah ramai, banyak orang berlalu lalang dan suara cempreng para siswi yang menggosip. Bisma berjalan risih mendekati teman sekelasnya, Jeff dan Riki. Secara bersamaan keduanya tampak kaget, namun ekspresinya berubah cepat menjadi jahil.
“Eh, katanya elu kagak mau ngikutan yang beginian Bis.” Ejek Riki sambil terkekeh kecil.
“Berisik ah lu Ki. Gue punya misi penting.” Balas Bisma dengan muka yang datar dan serius.
“Misi apa modus lu?? Mau deketin anak kelas berapa??” Sindir Jeff lantang.
“Haha. Elu pikirannya cewe mulu Jeff.” Bisma tertawa kecil, dia baru ingat kalau masalah rencana ini harus disembunyikannya. Tidak boleh ada yang tahu lagi. Cukup Radith saja sebagai pihak ketiga, terlalu banyak telinga bisa terlalu banyak juga mulut yang keceplosan mengungkapkan ini.
“Waaah serius kayanya nih, si Bisma tiis kita ini udah mulai naksir cewe. Siapa niiih Bis?” Riki bersemangat.
“Muke lu! Ngomongin yang laen deh yaaah.” Bisma bingung menanggapi candaan Riki yang satu ini.
‘Ada hal penting yang belum terselesaikan. Anak itu!!’ Bisik Bisma sambil sedikit tersentak menyadari hal yang hampir dilewatkannya.
Bisma berlari kecil sambil mengutak-ngatik handphonenya, mencari sebuah pesan singkat penting tadi pagi. Petunjuk penting dalam memulai pekerjaannya.
“Gue rasa itu dia. Anak cewe di kelompok terakhir yang duduk di deket tangga itu Bis.” Radith menepuk bahu Bisma, tahu apa yang sedang dicari sahabatnya ini.
Tanpa tanggapan Bisma segera menoleh kearah yang ditunjuk Radith, ada dia. Si Gadis sederhana itu, yang entah, beberapa waktu yang lalu sempat berhadapan dengannya, yang dulu memandanginya penuh ketelitian, dia si gadis sederhana itu ternyata punya segudang keistimewaan yang seperti disiakannya. Tak sadar akan langkahnya Bisma mendekat, meneliti, benarkah dia, benarkah si gadis sederhana itu.
“Elu gak salah Dith?” Bisma bertanya, meyakinkan diri sendiri. Dan Radith hanya mengangguk, isyarat pasti akan keyakinan tebakannya.
‘Ini benar-benar akan menjadi hari yang menarik.’ Redam Bisma dengan bisikan hati, mengingat ada Radith disampingnya.
* * *
Malam itu melelahkan. Menikmati hari yang berbalik menjadi sangat indah. Hapsa melupakan tekanan dari ibunya, kini Ia dengan senyum lebar memeluk ibunya, dan Bu Karin tersentak kaget. Bu Karin tampak berpikir dalam, entah memikirkan apa.
“Ibu kenapa sih? Ko kayanya aneh banget??” Hapsa mulai menyadari ibunya sedang memikirkan sesuatu yang tidak bisa ditebak.
“Heran sayang. Bukannya tadi pagi kamu lagi ngambek sama Ibu??” Bu Karin mencoba tersenyum sebisanya, meskipun wajah panik itu masih terlihat.
“Hehe. Abis tadi masih sebel sama Ibu. Tapi sekarang udah enggak ko,Bu. Kan tadi abis jalan-jalan sama Milla dan Tania. Dan Hapsa udah gak mau mikirin masalah LDKS lagi Bu. Hapsa bisa liburan di rumah ngehabisin waktu buat merawat diri, daripada ke hutan menantang bahaya.” Jelas Hapsa manja, dan kini Bu Karin terlihat senyum lepas dan mencium pipi anak semata wayangnya ini.
“Yakin kamu gak bakalan nyesel gara-gara gak ikutan acara itu?” Bu Karin meyakinkan anaknya.
“Enggak sih Bu. Sebenernya pengen banget ikut kesana, tapi kan kalo gak diijinin ibu gimanaaa? Lagian udah terlambat juga Bu. Besok ngumpulnya jam setengah enam pagi, dan Hapsa belum nyiapin apapun. Hahaha Hapsa udah punya rencana liburan ko Bu. Tenang ajah.” Hapsa nyengir melihat ekspresi meringis Ibunya, mendengar Hapsa bicara seperti menahan nafas saking cepatnya.
“Baguslah kamu mulai mengerti dengan apa yang Ibu bilang. Yaudah sana istirahat, capek kan abis main sana-sini??” Bu Karin menepuk pundak anaknya sambil tersenyum lembut.
Hapsa berjalan cepat dan membuka pintu kamarnya, menyalakan lampu tengah, masuk, menutup pintu dan duduk di sofa depan tempat tidurnya. Kosong dan sepi. Dan lagi bosan. Hapsa membayangkan dua harinya yang sangat sumpek disini. Sebenarnya dia ingin menangis, melengkapi kesedihannya tentang tidak ikut LDKS tahun ini. Menangis karena setelah dua hari ini, masih ada hari-hari lain yang penuh dengan cerita petualangan disana, di Hutan Raya Kencana. Sebenarnya itu yang mungkin tidak bisa ditahan, rasa sakit ketika mulai banyak orang yang sadar kalau kamu tidak tahu apa-apa tentang acara akbar itu, karena kamu tidak terlibat didalamnya. Pasti Hapsa perlu lebih kuat lagi, dan belajar menghadapi keputusan mutlak Ibunya dengan lapang dada. Dia beringsut ke tempat tidur, menarik selimut dan mencoba lelap tanpa satupun tetesan air mata.
Rumputnya lembut dan langitnya juga luas, Hapsa duduk dibawah pohon beringin rimbun, didepannya terbentang petak-petak sawah yang mulai menguning. Tiba-tiba seorang lelaki yang tampan, wajahnya tidak asing, memanggil-manggil namanya dengan nada dingin.
“Hapsa! Hapsa!!”
“Bangun Noon, Bangun nanti kesiangan Non!”
Hapsa mengucek matanya, tadi mimpi. Hapsa mengumpulkan kesadaran.
“Hari ini saya libur Bi. Gak perlu bangun pagi, tuh alarm saya ajah gak nyala kan Bi.” Hapsa menjawab malas sambil hendak berbaring lagi dengan nyenyak.
“Non. Tapi Non disuruh turun Non sama Tuan, kata Tuan kalo 15 menit lagi Non gak turun, Non bakal ditinggalin Non.”
Hapsa melek dengan cepat.
‘Ada ayah? Ayah pulang dan ibu gak ngasih tau gue. Uuuh rencana menyenangkan apa ini.’ Hapsa senyum sangat lebar, tanpa menanggapi perkataan Bi Inah disampingnya, dia berlari cepat, membuka pintu kamar mandi dan secepat kilat mandi dengan bersih (bersih berdasarkan pendapat pribadinya). Dia memilih baju casual paling lucu hari ini, berwarna cerah dengan cardigan panjang berbahan tipis diatas lutut. Hapsa berlari turun tangga dengan cepat, melompati beberapa tangga sambil tak kuasa menahan keinginan memeluk ayahnya.
Sesampainya dibawah, mata Hapsa meneliti, mencari-cari sosok yang sangat dirindukannya, tidak ditemukan, hanya ada ibu sedang duduk di sofa membaca majalah kuliner langganannya.
“Udah beres siap-siapnya sayang?” Sapa Bu Karin lembut.
“Udah Bu. Mau kemana sih kita? Ayah manaa?” Sahut Hapsa sangat bersemangat.
“Ayah? Ayah masih di Kanada sayang, baru tiga bulan lagi bakal pulang.”
“Loh kata Bi Inaaah!!” Hapsa kesal dibohongi.
Bu Karin hanya tersenyum memandang Bi Inah yang sedang menunduk merasa bersalah kepada Hapsa. Bu Karin langsung mengambil sebuah ransel besar dan sebuah tas pinggang.
“Bi? Tolong ambilkan jaket atau sweater yang tebal buat Hapsa, dikamarnya Bi. Cepet ya! Sebelum terlambat.” Bi Inah mengangguk mendengar perintah Bu Karin.
“Ini ada apa sih Bu?? Mau kemana jugaaa??!” Hapsa mulai kesal karena merasa kebingungan setengah mati.
“Kita ke sekolah.”
“Ngapain?” Hapsa bingung.
“Ikut acara itu.” Sahut Bu Karin tenang sambil tersenyum simpul, senyum keibuan.
“Ah Ibu jangan bercanda ah! Ibu pengen bikin Hapsa malu.”
“Loh malu gimana sayang?”
“Bukannya ibu gak ngizinin Hapsa pergi kesana. Ibu tuh yang gak ngizinin Hapsa buat ikutan LDKS, sekarang tiba-tiba ibu nyuruh Hapsa pergi. Enggak! Hapsa gak mau malu sama temen-temen. Ibu bakal nemenin Hapsa LDKS kan? Hapsa gak mau kaya gitu Bu. Manja banget keliatannya.” Hapsa sebal, ibunya sangat labil dalam mengambil keputusan.
“Ibu? Ikut ke hutan? Ibu enggak tertarik Hapsa sayang. Ibu mau nganter kamu ke sekolah. Memastikan kamu sudah bisa ikut ke Hutan Raya Kencana sekarang.”
“Ibu ngarang banget! Lagian Ibu ko baru bilang sekarang sama Hapsa, dan kenapa Ibu packing sendiri? Ibu kan gak tau barang-barang apa ajah yang harus Hapsa bawa, ini bukan kemping sembarangan Bu. Ini semacam pelatihan buat jadi anggota OSIS SMA.” Hapsa sebal sekali, ini niatnya kejutan ataukah ibunya memang mendadak memikirkan perubahan keputusan dan terkesan asal-asalan.
Bu Karin tersenyum dan memeluk anak sematawayangnya ini dari samping. Dia tahu anaknya sudah bisa berpikir lebih mendalam dan kritis sekarang.
“Kamu pikir Ibu seceroboh itu? Sampai enggak bisa ngehubungin Tania dan meminta list barang yang dibutuhin nanti pas kamu di hutan? Ibu tau Hapsa sayang, dan kemarin dibantu Bi Inah ibu membereskan semuanya. Semuanya tanpa terkecuali.” Jelas Bu Karin, membuat Hapsa tersenyum simpul sekarang.
Hapsa sangat senang dan memeluk ibunya erat. Dia berceloteh kegirangan dengan kenyataan bahwa dia bisa ikut LDKS, Hapsa sempat heran mengapa ibunya tiba-tiba berubah pikiran padahal ibunya selalu berpikir panjang dalam mengambil keputusan. Tapi ya sudahlah, ini hari penuh keberuntungan. Tentu saja ini akan lebih menarik lagi nanti.
* * *
0 komentar:
Posting Komentar